BAB II
SATUAN-SATUAN GRAMATIKAL
Pada
Bab II ini mahasiswa diharapkan dapat memahami pengertian satuan gramatikal,
bentuk tunggal dan bentuk kompleks, bentuk bebas dan bentuk terikat, bentuk
asal dan bentuk dasar, unsur dan unsur langsung.
A.
Pengertian
Satuan Gramatikal
Jika
kita mendengar tuturan seseorang atau tuturan seorang informan dengan seksama,
ternyata bahwa ada satuan-satuan yang berulang-ulang dapat kita dengar,
misalnya sepeda, bersepeda, bersepeda ke luar kota, ia
membeli sepeda, dan sebagainya. Satuan-satuan yang mengandung arti leksikal
maupun arti gramatikal, atau disingkat satuan.
Satuan
gramatik atau satuan itu mungkin berupa morfem, misalnya ber-, ke,
ke-an, -wan, maha-, jalan, akan, rumah,
datang, baca, baru; mungkin berupa kata misalnya rumah,
membawa, kelupaan, diketahui, lempar lembing, mereka,
dari; mungkin berupa frasa, misalnya akan datang, ke rumah
teman, akan minum, sudah sehat, sehat sekali, usaha
yang baik; mungkin berupa klausa, misalnya Ia berkunjung ke rumah teman
...usaha itu sangat baik ..., orang tuanya sudah sehat ...;
mungkin berupa kalimat, misalnya Ia sedang berkunjung ke rumah teman., Usaha
itu sangat baik. Orang tuanya sudah sehat dan sudah bekerja lagi.;
dan mungkin juga berupa wacana. (Ramlan, 1985: 24).
B.
Bentuk
Tunggal dan Bentuk Kompleks
Kalau
satuan kuda dibandingkan dengan berkuda, maka akan ternyata bahwa
kedua bentuk itu berbeda. Perbedaannya ialah bentuk kuda, tidak mungkin
dapat diuraikan ke dalam bentuk yang lebih kecil. Dengan kata lain, bentuk kuda
tidak mempunyai bentuk yang lebih kecil lagi. Kita dapat menguraikan bentuk kuda
menjadi ku dan da akan tetapi dalam kaitannya dengan bentuk kuda,
ku dan da tersebut tidaklah merupakan satuan-satuan yang
mengandung arti. Jadi, bukan bentuk linguistik. Lain halnya dengan bentuk berkuda.
Bentuk tersebut dapat diuraikan menjadi bentuk-bentuk yang lebih kecil, yakni
ber- yang berarti “memakai” atau “memiliki” dan kuda “sebangsa binatang
yang berkaki empat”. Jadi dapat dikatakan bahwa bentuk berkuda terdiri
atas dua bentuk yang lebih kecil daripada bentuk berkuda itu sendiri.
(Prawirasumantri, 1985: 115).
Contoh
lain jika satuan sepeda dibandingkan dengan bersepeda, bersepeda di
luar kota, ia membeli sepeda baru, ternyata ada perbedaannya.
Perbedaannya ialah bahwa satuan-satuan sepeda tidak mempunyai satuan
yang lebih kecil lagi; berbeda dengan bersepeda, yang sebenarnya terdiri
dari satuan ber- dan sepeda; bersepeda ke luar kota, yang
terdiri dari satuan ber- dan sepeda, ke, luar, dan kota;
dan berbeda pula dengan satuan ia membeli sepeda baru, yang terdiri dari
satuan ia, men-, beli, sepeda, dan baru.
Satuan
gramatik yang tidak terdiri dari satuan yang lebih kecil lagi itu disebut
bentuk tunggal, sedangkan satuan yang terdiri dari satuan-satuan yang lebih
kecil disebut bentuk kompleks. Satuan-satuan ber-, sepeda, ke,
luar, kota, ia, men, beli, dan baru,
masing-masing merupakan bentuk tunggal, sedangkan satuan-satuan bersepeda,
bersepeda ke luar kota, ia membeli sepeda baru, merupakan bentuk
kompleks (Ramlan, 1985: 25).
C.
Bentuk
Bebas dan Bentuk Terikat
Satuan-satuan
atau bentuk-bentuk linguistik ada yang dapat berdiri sendiri atau selalu
terikat pada bentuk lain. Bentuk buku, misalnya termasuk ke dalam bentuk
yang dapat berdiri sendiri di dalam tuturan biasa, umpamanya merupakan jawaban
terhadap pertanyaan Anda membaca apa? Anda membeli apa? Dan
sebagainya. Berbeda dengan bentuk buku, misalnya bentuk ber-.
Bentuk ber- tidak dapat berdiri sendiridalam tuturan biasa, bentuk ber-
selalu terikat pada bentuk yang lain, artinya selalu dipakai bersama-sama
dengan bentuk yang lain. Umpamanya, bersama-sama dengan bentuk jalan, rumah,
baju, bicara, lari, dan sebagainya menjadi berjalan,
berumah, berbaju, berbicara, berlari, dan
sebagainya. Satuan atau bentuk linguistik yang dapat berdiri sendiri dalam
tuturan biasa, seperti buku, jalan, rumah, dan sebagainya
disebut bentuk bebas, sedangkan bentuk linguistik yang tidak dapat
berdiri sendiri dalam tuturan biasa, seperti ber- disebut bentuk
terikat. (Prawirasumantri, 1985: 116).
Diantara
bentuk-bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, ada yang
secara gramatik mempunyai sifat bebas seperti halnya satuan-satuan yang dalam
tuturan biasa dapat berdiri sendiri. Bentuk-bentuk yang dimaksud ialah dari,
kepada, sebagai, tentang, karena, meskipun, lah,
dan masih banyak lagi. Sifat bebas dari dan lah misalnya dapat
dilihat dari jajaran-jajaran sebagai berikut:
dari
toko
dari
suatu toko
dari
dua buah toko
dari
hampir semua toko
berjalanlah
berjalan
cepatlah
bercajan
ke utaralah
berjalan
ke utara sajalah
Bentuk
dari kelihatannya terikat pada toko, tetapi dengan adanya frasa dari sutu
toko, dua buah toko, dan dari hampir semua toko, jelaslah
bahwa bentuk dari secara gramatik
dapat dipisahkan dari toko.demikian pula dengan bentuk lah pada berjalanlah.
Bentuk ini kelihatannya terikat pada berjalan, tetapi dengan adanya frasa berjalan
cepatlah, berjalan ke utaralah, berjalan ke utara sajalah,
jelaslah bahwa lah secara gramatik tidak terikat pada berjalan.
Bentuk-bentuk
ber-, ter-, men-, per-, -kan, –an, -i, ke-an, per-an, dan sebagainya, jelas
tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam tuturan biasa, maupun secara gramatik.
Bentuk-bentuk tersebut bersama dengan bentuk lain membentuk bentuk kata,
misalnya ber- bersama dengan jalan membentuk kata berjalan,
ter- bersama dengan pandai membentuk kata terpandai, men-
dengan alir membentuk mengalir, dan sebagainya. Dilihat dari
sudut artileksikal, akan tetapi memiliki arti gramatikal, sebagai akibat
pertemuannya dengan bentuk lain. Karena itu, bentuk-bentuk seperti ber-, ter-,
men-, dan sebagainya itu termasuk dalam golongan afiks.
Bentuk-bentuk
ku, mu, nya, kau, dan isme, dalam tuturan
biasa juga tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatik juga tidak
mempunyai kebebasan. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk itu termasuk golongan bentuk
terikat, namun demikian, ada perbedaan antara bentuk terikat. Namun demikian,
ada perbedaan antara bentuk-bentuk ber-, ter-, men-, dan
sebagainya. Perbedaannya ialah bentuk ku, mu, nya, dan
sebagainya memiliki arti leksikal. Karena itu, bentuk-bentuk seperti ku,
mu, nya, dan sebagainya dapat dimasukkan ke dalam golongan afiks,
melainkan termasuk golongan yang dimaksud klitik. Klitik dapat dibedakan
menjadi dua golongan ialah proklitik dan enklitik. Proklitik terletak di muka,
misalnya ku, pada kuambil, kau pada kauambil,
sedangkan enklitik terletak di belakang, misalnya ku pada rumahku,
mu pada rumahmu, nya pada rumahnya.
Bentuk
juang misalnya dalam berjuang, perjuangan, pejuang,
memperjuangkan, bentuk temu misalkan dalam bertemu, pertemuan,
menemukan, menemui, penemuan, juga merupakan bentuk-bentuk
yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, dan secara gramatik tidak
memiliki sifat sebab. Namun demikian, bentuk-bentuk itu tidak dapat dimasukkan
ke dalam golongan afiks maupun klitik karena bentuk-bentuk itu mempunyai sifat
tersendiri ialah dapat dijadikan bentuk dasar, seperti terlihat pada
bentuk-bentuk berjuang, bertemu dan sebagainya. Karena itu,
bentuk-bentuk itu merupakan golongan tersendiri yang disebut pokok kata.
Bentuk-bentuk lain yang dapat dimasukkan ke dalam golongan pokok kata ialah alir,
ketahu, sandar, puluh, rangkak, dan sebagainya.
(Ramlan, 1985: 25-28).
D.
Bntuk
Asal dan Bentuk Dasar
Telah
diketahui bahwa bentuk-bentuk linguistik ada yang berupa bentuk kompleks, yakni
bentuk-bentuk yang terdiri atas lebih dari sebuah bentuk yang lebih kecil.
Dalam bentuk kompleks dapat ditemukan bentuk-bentuk yang menjadi asal, dan ada
tau yang menjadi dasar terbentuknya bentuk kompleks.
Bentuk
asal ialah satuan yang paling kecil yang menjadi asal sesuatu kata kompleks.
Miasalnya kata berpakaian terbentuk dari bentuk asal dari pakai
mendapat bubuhan afiks –an menjadi kata pakaian, kemudian
mendapat bubuhan afiks ber- menjadi berpakaian. Contoh lain, misalnya
kata berkesudahan. Kata ini terbentuk dari bentuk asal sudah
mendapat bubuhan afiks ke-an menjadi kesudahan, kemudian mendapat
bubuhan afiks ber- menjadi berkesudahan.
Bentuk
dasar ialah bentuk, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan
bagi bentuk yang lebih besar. Kata berpakaian, misalnya, terbentuk dari
bentuk dasar pakaian dengan afiks ber-, selanjutnya kata pakaian
terbentuk dari bentuk dasar pakai dengan afiks –an. Kata berkesudahan
terbentuk dari bentuk dasar kesudahan dengan afiks ber-, dan
selanjutnya kata kesudahan terbentuk dari bentuk dasar sudah
dengan afiks ke-an.
Bentuk
asal selalu bentuk tunggal, sedangkan bentuk bias bentuk tunggal dan bias
bentuk kompleks.
E.
Unsur
dan Unsur Langsung
Bentuk
kompleks selalu terdiri atas lebih dari satu bentuk yang lebih kecil dari
bentuk kompleks itu. Bentuk-bentuk yang menjadi pembangun bentuk-bentuk yang
lebih besar disebut unsur (constituent) (Ramlan dalam Prawirasumantri,
1985: 118). Misalnya, ber-, pakai dan –an merupakan unsur bentuk kompleks berpakaian;
ber-, ke-an dan duduk, merupakan unsur dari bentuk kompleks berkedudukan.
Tampaknya
bentuk-bentuk yang menjadi unsur pembangun bentuk yang lebih besar sekaligus
dalam satu deretan membangun bentuk itu. Jika bentuk yang lebih besar itu
terdiri atas dua buah bentuk (unsur) yang lebih kecil, memang demikian. Akan
tetapi, tidak sama halnya dengan bentuk-bentuk yang terdiri atas lebih dari dua
buah bentuk yang lebih kecil. Misalnya bentuk ber-, pakai, dan –an
tidaklah sakaligus (serempak) membentuk berpakaian, melainkan bertahap,
yakni mulai menjadi pakaian dan seterusnya ber- pada pakaian
menjadi berpakaian. Unsur langsung membentuk satuan yang lebih besar
disebut unsur langsung (immediate constituent), misalnya pakai
dan –an merupakan unsur langsung bentuk pakaian, ber- dan pakaian
merupakan unsur langsung bentuk berpakaian. Diagram pembentukannya
sebagai berikut:




ber- pakai -an
Contoh
lain kata berperikemanusiaan. Proses pembentukannya lebih banyak lagi
dibandingkan dengan kata berpakaian. Bentuk berperikemanusiaan
terbentuk dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Bentuk perikemanusiaan
terbentuk dari unsur peri dan kemanusiaan. Selanjutnya kemanusiaan
terbentuk dari ke-an dan manusia. Jadi proses terbentuknya kata berperikemanusiaan
sebagai berikut:
manusia ... kemanusiaan ... perikemanusiaan ... berperikemanusiaan.
manusia ... kemanusiaan ... perikemanusiaan ... berperikemanusiaan.
Diagramnya
sebagai berikut:






ber- peri ke-an manusia
Bagaimanakah
unsur itu dapat ditentukan?
Apakah
satuan yang diselidiki itu hanya terdiridari dua bentuk, dengan mudah dapat
ditentukan bahwa kedua buah bentuk itu merupakan unsurnya. Tetapi apabila unsur
yang diselidiki itu terdiri tiga bentuk atau lebih, haruslah diperhatikan dua
taraf berikut ini!
Taraf I
Pada
taraf ini, dicari kemungkinan adanya satuan yang satu tingkat lebih kecil
daripada satuan yang diselidiki.
Pada
berperikemanusiaan, bentuk yang setingkat lebih kecil ialah perikemanusiaan.
Bentuk *berperikemanusiaan tidak akada. Maka dapat ditentukan bahwa berperikemanusiaan
terdiri dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Selanjutnya bentuk
yang satu tingkat lebih kecil dari perikemanusiaan ialah kemanusiaan;
*perikemanusiaan tidak ada, dan *rikemanusiaan tidak ada. Maka dapat ditentukan
bahwa satuan perikemanusiaan terbentuk dari unsur peri dan kemanusiaan.
Bentuk * ke manusia memang tidak ada, tetapi disitu sebagai kata depan. Bila ke
merupakan afiks, bentuk *ke manusia tidak ada; demikian pula *manusiaan,
juga tidak ada. Maka dapat ditentukan bahwa bentuk yang satu tingkat lebih
kecil dari padanya ialah manusia. Jadi, kemanusiaan terdiri dari
unsur ke-an dan manusia.
Banyak
bentuk ditentukan unsurnya dengan mempergunakan taraf pertama. Misalnya
kata-kata kehujanan, kenamaan, peradaban, peradilan, keberlangsungan,
pengairan,
berpemimpi,
yang masing-masing terdiri unsur-unsur ke-an, dan hujan, ke-an
ddan nama, per-an dan adab, per-an dan adil, ke-an dan berlangsung,
pen-an dan air, ber dan pemimpi.
Taraf II
Untuk
menentukan unsur kata pembacaan memperhatikan faktor arti dan makna.
Kata pembacaan mempunyai arti “hal membaca”. Kalau pembacaan
terbentuk dari unsur pen- dan bacaan, tentulah makna pen- tidak sesuai
dengan arti yang dinyatakan oleh kata pembacaan. Kalau kata pembacaan terbentuk
dari unsur pembaca dan –an, tentu makna –an tidak sesuai dengan arti
yang dinyatakan oleh kata pembacaan. (Ramlan, 1985:40-44).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar