Kamis, 12 April 2012


BAB II
SATUAN-SATUAN GRAMATIKAL

Pada Bab II ini mahasiswa diharapkan dapat memahami pengertian satuan gramatikal, bentuk tunggal dan bentuk kompleks, bentuk bebas dan bentuk terikat, bentuk asal dan bentuk dasar, unsur dan unsur langsung.

A.      Pengertian Satuan Gramatikal
Jika kita mendengar tuturan seseorang atau tuturan seorang informan dengan seksama, ternyata bahwa ada satuan-satuan yang berulang-ulang dapat kita dengar, misalnya sepeda, bersepeda, bersepeda ke luar kota, ia membeli sepeda, dan sebagainya. Satuan-satuan yang mengandung arti leksikal maupun arti gramatikal, atau disingkat satuan.
Satuan gramatik atau satuan itu mungkin berupa morfem, misalnya ber-, ke, ke-an, -wan, maha-, jalan, akan, rumah, datang, baca, baru; mungkin berupa kata misalnya rumah, membawa, kelupaan, diketahui, lempar lembing, mereka, dari; mungkin berupa frasa, misalnya akan datang, ke rumah teman, akan minum, sudah sehat, sehat sekali, usaha yang baik; mungkin berupa klausa, misalnya Ia berkunjung ke rumah teman ...usaha itu sangat baik ..., orang tuanya sudah sehat ...; mungkin berupa kalimat, misalnya Ia sedang berkunjung ke rumah teman., Usaha itu sangat baik. Orang tuanya sudah sehat dan sudah bekerja lagi.; dan mungkin juga berupa wacana. (Ramlan, 1985: 24).

B.       Bentuk Tunggal dan Bentuk Kompleks
Kalau satuan kuda dibandingkan dengan berkuda, maka akan ternyata bahwa kedua bentuk itu berbeda. Perbedaannya ialah bentuk kuda, tidak mungkin dapat diuraikan ke dalam bentuk yang lebih kecil. Dengan kata lain, bentuk kuda tidak mempunyai bentuk yang lebih kecil lagi. Kita dapat menguraikan bentuk kuda menjadi ku dan da akan tetapi dalam kaitannya dengan bentuk kuda, ku dan da tersebut tidaklah merupakan satuan-satuan yang mengandung arti. Jadi, bukan bentuk linguistik. Lain halnya dengan bentuk berkuda. Bentuk tersebut dapat diuraikan menjadi bentuk-bentuk yang lebih kecil, yakni ber- yang berarti “memakai” atau “memiliki” dan kuda “sebangsa binatang yang berkaki empat”. Jadi dapat dikatakan bahwa bentuk berkuda terdiri atas dua bentuk yang lebih kecil daripada bentuk berkuda itu sendiri. (Prawirasumantri, 1985: 115).
Contoh lain jika satuan sepeda dibandingkan dengan bersepeda, bersepeda di luar kota, ia membeli sepeda baru, ternyata ada perbedaannya. Perbedaannya ialah bahwa satuan-satuan sepeda tidak mempunyai satuan yang lebih kecil lagi; berbeda dengan bersepeda, yang sebenarnya terdiri dari satuan ber- dan sepeda; bersepeda ke luar kota, yang terdiri dari satuan ber- dan sepeda, ke, luar, dan kota; dan berbeda pula dengan satuan ia membeli sepeda baru, yang terdiri dari satuan ia, men-, beli, sepeda, dan baru.
Satuan gramatik yang tidak terdiri dari satuan yang lebih kecil lagi itu disebut bentuk tunggal, sedangkan satuan yang terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil disebut bentuk kompleks. Satuan-satuan ber-, sepeda, ke, luar, kota, ia, men, beli, dan baru, masing-masing merupakan bentuk tunggal, sedangkan satuan-satuan bersepeda, bersepeda ke luar kota, ia membeli sepeda baru, merupakan bentuk kompleks (Ramlan, 1985: 25).
C.      Bentuk Bebas dan Bentuk Terikat
Satuan-satuan atau bentuk-bentuk linguistik ada yang dapat berdiri sendiri atau selalu terikat pada bentuk lain. Bentuk buku, misalnya termasuk ke dalam bentuk yang dapat berdiri sendiri di dalam tuturan biasa, umpamanya merupakan jawaban terhadap pertanyaan Anda membaca apa? Anda membeli apa? Dan sebagainya. Berbeda dengan bentuk buku, misalnya bentuk ber-. Bentuk ber- tidak dapat berdiri sendiridalam tuturan biasa, bentuk ber- selalu terikat pada bentuk yang lain, artinya selalu dipakai bersama-sama dengan bentuk yang lain. Umpamanya, bersama-sama dengan bentuk jalan, rumah, baju, bicara, lari, dan sebagainya menjadi berjalan, berumah, berbaju, berbicara, berlari, dan sebagainya. Satuan atau bentuk linguistik yang dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, seperti buku, jalan, rumah, dan sebagainya disebut bentuk bebas, sedangkan bentuk linguistik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, seperti ber- disebut bentuk terikat. (Prawirasumantri, 1985: 116).
Diantara bentuk-bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, ada yang secara gramatik mempunyai sifat bebas seperti halnya satuan-satuan yang dalam tuturan biasa dapat berdiri sendiri. Bentuk-bentuk yang dimaksud ialah dari, kepada, sebagai, tentang, karena, meskipun, lah, dan masih banyak lagi. Sifat bebas dari dan lah misalnya dapat dilihat dari jajaran-jajaran sebagai berikut:
dari toko
dari suatu toko
dari dua buah toko
dari hampir semua toko
berjalanlah
berjalan cepatlah
bercajan ke utaralah
berjalan ke utara sajalah
Bentuk dari kelihatannya terikat pada toko, tetapi dengan adanya frasa dari sutu toko, dua buah toko, dan dari hampir semua toko, jelaslah bahwa bentuk dari  secara gramatik dapat dipisahkan dari toko.demikian pula dengan bentuk lah pada berjalanlah. Bentuk ini kelihatannya terikat pada berjalan, tetapi dengan adanya frasa berjalan cepatlah, berjalan ke utaralah, berjalan ke utara sajalah, jelaslah bahwa lah secara gramatik tidak terikat pada berjalan.
Bentuk-bentuk ber-, ter-, men-, per-, -kan, –an, -i, ke-an, per-an, dan sebagainya, jelas tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam tuturan biasa, maupun secara gramatik. Bentuk-bentuk tersebut bersama dengan bentuk lain membentuk bentuk kata, misalnya ber- bersama dengan jalan membentuk kata berjalan, ter- bersama dengan pandai membentuk kata terpandai, men- dengan alir membentuk mengalir, dan sebagainya. Dilihat dari sudut artileksikal, akan tetapi memiliki arti gramatikal, sebagai akibat pertemuannya dengan bentuk lain. Karena itu, bentuk-bentuk seperti ber-, ter-, men-, dan sebagainya itu termasuk dalam golongan afiks.
Bentuk-bentuk ku, mu, nya, kau, dan isme, dalam tuturan biasa juga tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatik juga tidak mempunyai kebebasan. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk itu termasuk golongan bentuk terikat, namun demikian, ada perbedaan antara bentuk terikat. Namun demikian, ada perbedaan antara bentuk-bentuk ber-, ter-, men-, dan sebagainya. Perbedaannya ialah bentuk ku, mu, nya, dan sebagainya memiliki arti leksikal. Karena itu, bentuk-bentuk seperti ku, mu, nya, dan sebagainya dapat dimasukkan ke dalam golongan afiks, melainkan termasuk golongan yang dimaksud klitik. Klitik dapat dibedakan menjadi dua golongan ialah proklitik dan enklitik. Proklitik terletak di muka, misalnya ku, pada kuambil, kau pada kauambil, sedangkan enklitik terletak di belakang, misalnya ku pada rumahku, mu pada rumahmu, nya pada rumahnya.
Bentuk juang misalnya dalam berjuang, perjuangan, pejuang, memperjuangkan, bentuk temu misalkan dalam bertemu, pertemuan, menemukan, menemui, penemuan, juga merupakan bentuk-bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa, dan secara gramatik tidak memiliki sifat sebab. Namun demikian, bentuk-bentuk itu tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan afiks maupun klitik karena bentuk-bentuk itu mempunyai sifat tersendiri ialah dapat dijadikan bentuk dasar, seperti terlihat pada bentuk-bentuk berjuang, bertemu dan sebagainya. Karena itu, bentuk-bentuk itu merupakan golongan tersendiri yang disebut pokok kata. Bentuk-bentuk lain yang dapat dimasukkan ke dalam golongan pokok kata ialah alir, ketahu, sandar, puluh, rangkak, dan sebagainya. (Ramlan, 1985: 25-28).
D.      Bntuk Asal dan Bentuk Dasar
Telah diketahui bahwa bentuk-bentuk linguistik ada yang berupa bentuk kompleks, yakni bentuk-bentuk yang terdiri atas lebih dari sebuah bentuk yang lebih kecil. Dalam bentuk kompleks dapat ditemukan bentuk-bentuk yang menjadi asal, dan ada tau yang menjadi dasar terbentuknya bentuk kompleks.
Bentuk asal ialah satuan yang paling kecil yang menjadi asal sesuatu kata kompleks. Miasalnya kata berpakaian terbentuk dari bentuk asal dari pakai mendapat bubuhan afiks –an menjadi kata pakaian, kemudian mendapat bubuhan afiks ber- menjadi berpakaian. Contoh lain, misalnya kata berkesudahan. Kata ini terbentuk dari bentuk asal sudah mendapat bubuhan afiks ke-an menjadi kesudahan, kemudian mendapat bubuhan afiks ber- menjadi berkesudahan.
Bentuk dasar ialah bentuk, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi bentuk yang lebih besar. Kata berpakaian, misalnya, terbentuk dari bentuk dasar pakaian dengan afiks ber-, selanjutnya kata pakaian terbentuk dari bentuk dasar pakai dengan afiks –an. Kata berkesudahan terbentuk dari bentuk dasar kesudahan dengan afiks ber-, dan selanjutnya kata kesudahan terbentuk dari bentuk dasar sudah dengan afiks ke-an.
Bentuk asal selalu bentuk tunggal, sedangkan bentuk bias bentuk tunggal dan bias bentuk kompleks.
E.       Unsur dan Unsur Langsung
Bentuk kompleks selalu terdiri atas lebih dari satu bentuk yang lebih kecil dari bentuk kompleks itu. Bentuk-bentuk yang menjadi pembangun bentuk-bentuk yang lebih besar disebut unsur (constituent) (Ramlan dalam Prawirasumantri, 1985: 118). Misalnya, ber-, pakai dan –an merupakan unsur bentuk kompleks berpakaian; ber-, ke-an dan duduk, merupakan unsur dari bentuk kompleks berkedudukan.
Tampaknya bentuk-bentuk yang menjadi unsur pembangun bentuk yang lebih besar sekaligus dalam satu deretan membangun bentuk itu. Jika bentuk yang lebih besar itu terdiri atas dua buah bentuk (unsur) yang lebih kecil, memang demikian. Akan tetapi, tidak sama halnya dengan bentuk-bentuk yang terdiri atas lebih dari dua buah bentuk yang lebih kecil. Misalnya bentuk ber-, pakai, dan –an tidaklah sakaligus (serempak) membentuk berpakaian, melainkan bertahap, yakni mulai menjadi pakaian dan seterusnya ber- pada pakaian menjadi berpakaian. Unsur langsung membentuk satuan yang lebih besar disebut unsur langsung (immediate constituent), misalnya pakai dan –an merupakan unsur langsung bentuk pakaian, ber- dan pakaian merupakan unsur langsung bentuk berpakaian. Diagram pembentukannya sebagai berikut:
berpakaian

                                                                        pakaian           

                                    ber-                  pakai                -an
Contoh lain kata berperikemanusiaan. Proses pembentukannya lebih banyak lagi dibandingkan dengan kata berpakaian. Bentuk berperikemanusiaan terbentuk dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Bentuk perikemanusiaan terbentuk dari unsur peri dan kemanusiaan. Selanjutnya kemanusiaan terbentuk dari ke-an dan manusia. Jadi proses terbentuknya kata berperikemanusiaan sebagai berikut:
manusia ... kemanusiaan ... perikemanusiaan ... berperikemanusiaan.


Diagramnya sebagai berikut:
berperikemanusiaan

perikemanusiaan

kemanusiaan

ber-                              peri                  ke-an               manusia

Bagaimanakah unsur itu dapat ditentukan?
Apakah satuan yang diselidiki itu hanya terdiridari dua bentuk, dengan mudah dapat ditentukan bahwa kedua buah bentuk itu merupakan unsurnya. Tetapi apabila unsur yang diselidiki itu terdiri tiga bentuk atau lebih, haruslah diperhatikan dua taraf berikut ini!
Taraf I
Pada taraf ini, dicari kemungkinan adanya satuan yang satu tingkat lebih kecil daripada satuan yang diselidiki.
Pada berperikemanusiaan, bentuk yang setingkat lebih kecil ialah perikemanusiaan. Bentuk *berperikemanusiaan tidak akada. Maka dapat ditentukan bahwa berperikemanusiaan terdiri dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Selanjutnya bentuk yang satu tingkat lebih kecil dari perikemanusiaan ialah kemanusiaan; *perikemanusiaan tidak ada, dan *rikemanusiaan tidak ada. Maka dapat ditentukan bahwa satuan perikemanusiaan terbentuk dari unsur peri dan kemanusiaan. Bentuk * ke manusia memang tidak ada, tetapi disitu sebagai kata depan. Bila ke merupakan afiks, bentuk *ke manusia tidak ada; demikian pula *manusiaan, juga tidak ada. Maka dapat ditentukan bahwa bentuk yang satu tingkat lebih kecil dari padanya ialah manusia. Jadi, kemanusiaan terdiri dari unsur ke-an dan manusia.
Banyak bentuk ditentukan unsurnya dengan mempergunakan taraf pertama. Misalnya kata-kata kehujanan, kenamaan, peradaban, peradilan, keberlangsungan, pengairan,
berpemimpi, yang masing-masing terdiri unsur-unsur ke-an, dan hujan, ke-an ddan nama, per-an dan adab, per-an dan adil, ke-an dan berlangsung, pen-an dan air, ber dan pemimpi.
Taraf II
Untuk menentukan unsur kata pembacaan memperhatikan faktor arti dan makna. Kata pembacaan mempunyai arti “hal membaca”. Kalau pembacaan terbentuk dari unsur pen- dan bacaan, tentulah makna pen- tidak sesuai dengan arti yang dinyatakan oleh kata pembacaan. Kalau kata pembacaan terbentuk dari unsur pembaca dan –an, tentu makna –an tidak sesuai dengan arti yang dinyatakan oleh kata pembacaan. (Ramlan, 1985:40-44).

 Dari Diktat Dosen IKIP PGRI SEMARANG "Siswanto P.H.M"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar